Lama Jadi Misteri, Tes DNA Ungkap Identitas Asli Manusia Salju "Yeti"

Potret jejak kaki ini disebut sebagai jejak kaki manusia salju yang dikenal dengan nama Yeti. Foto ini diambil saat ekspedisi gunung Everest, 1961. (Popperfoto)

Manusia salju yang dikenal dengan nama Yeti masih melekat kuat dalam cerita rakyat Nepal, Bhutan dan Tibet.

Kisah penampakan makhluk ini pun sudah ada selama berabad-abad di pegunungan tinggi Asia. Menurut pengakuan orang-orang yang melihat penampakannya, Yeti digambarkan sebagai makhluk putih berbulu seperti kera dan jika berdiri, tingginya melebihi manusia.

Bayangan itu makin dibuat nyata dengan potret yang diambil seorang pendaki gunung dari Inggris, Eric Shipton, pada 1951. Sekembalinya dari ekspedisi Gunung Everest, Shipton membawa bukti foto jejak kaki raksasa yang tercetak di salju.

Legenda yang sudah turun temurun ini tampaknya membuat orang-orang yang tinggal di wilayah tersebut menganggap Yeti benar-benar nyata. Mereka mengumpulkan rambut, tulang dan sampel lainnya yang diklaim sebagai bagian tubuh makhluk legendaris itu.

Siapakah Yeti sebenarnya?

Hingga kini memang belum ada bukti yang sahih soal keberadaan mahluk tersebut.
Ada teori berkembang yang menyatakan bahwa Yeti merupakan anggota dari keturunan manusia yang sudah punah seperti Neanderthal atau kera Gigantopithecus yang sudah punah. Bahkan, ada yang berkata bahwa Yeti adalah campuran antara manusia modern dan primata lainnya.

Semua teori-teori itu terus berkembang hingga sebuah studi pada 2014 mengungkapkan bahwa bagian-bagian tubuh yang dianggap bagian tubuh Yeti ternyata berasal dari campuran antara beruang kutub dan beruang cokelat.

Charlotte Lindqvist, ahli biologi evolusioner di University of Buffalo New York meragukan keberadaan beruang campuran yang berkeliaran di pegunungan Himalaya.

Lindqvist dan rekan-rekannya memutuskan untuk menindaklanjuti studi tersebut dengan menganalisa contoh-contoh tambahan yang diakui sebagai bagian tubuh Yeti. Mereka berharap agar penelitian bisa memberikan titik terang apakah Yeti itu sebenarnya.

"Pemikiran saya adalah bahwa jika Yeti benar-benar beruang, penelitian ini bisa menjadi kesempatan menarik untuk mendapatkan sampel beruang Himalaya yang sulit didapat," kata Lindqvist seperti dikutip dari Live Science, Selasa, (28/11/2017).

Secara keseluruhan, Lindqvist dan rekan-rekannya menganalisis DNA dari sembilan spesimen yang dipercayai sebagai Yeti, termasuk sampel tulang, gigi, kulit, rambut dan kotoran yang dikumpulkan dari vihara, gua, dan tempat lainnya di Himalaya dan dataran tinggi Tibet.

Mereka juga mengumpulkan sampel dari beruang di wilayah ini dan dari hewan di tempat lain di dunia.

Dari sembilan sampel tersebut, diketahui bahwa delapan sampel adalah beruang hitam Asia, beruang coklat Himalaya, atau beruang coklat Tibet; sedangkan sampel kesembilan ternyata berasal dari seekor anjing.

Penelitian terbaru, hasil tes DNA yang diduga Yeti adalah beruang Asia, termasuk beruang coklat Himalaya (ditunjukkan di sini).

"Sangat menarik menemukan bahwa sampel yang diklaim sebagai Yeti bukanlah mahluk beruang hibrida yang aneh, tapi ternyata hanya beruang coklat dan hitam lokal," kata Lindqvist.
"Ilmu pengetahuan modern dan data genetik pada khususnya, dapat membantu menjawab dan menyelesaikan sebuah misteri." imbuhnya.

Memang akhirnya peneliti belum bisa benar-benar mengungkapkan apa sebenarnya Yeti itu karena mereka baru melakukan analisis bagian-bagian tubuh yang diduga sebagai Yeti.

Para peneliti menemukan bahwa beruang cokelat Himalaya berhubungan dekat dengan beruang Amerika, tetapi mereka memisahkan diri sekitar 650.000 tahun yang lalu selama zaman es.

"Mungkin puncak gunung Himalaya yang tinggi membuat populasi ini terpisah dan terisolasi dari populasi beruang coklat lainnya. Menciptakan keturuan beruang yang berbeda secara evolusioner," jelas Lindqvist.

Riset mendatang mengenai genetika beruang dapat memberikan wawasan lebih lanjut mengenai populasi beruang yang terisolasi dan langka ini, dan dapat membantu strategi pengelolaan konservasi.

Temuan ini sudah dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages